Harga Telur dan Ayam Meroket Sangat Tinggi Di Pasaran, Ada Apa?



Berita Hari Ini - Jakarta - Ayam dan telur merupakan sumber protein hewani yang baik bagi tubuh. Masyarakat pun banyak yang mengkonsumsinya, terlebih harga panganan kedua komoditas tersebut terjangkau. Namun, sebulan terakhir masyarakat dikejutkan dengan lonjakan harga telur dan ayam yang tajam. Tak hanya pembeli, keluhan pun datang dari pedagang.

Hingga pekan terakhir pada bulan Juli ini, harga ayam per kilogram (kg) masih jauh di atas harga pasaran atau normal, yakni Rp 36.975 per kilogram (kg).

Pedagang ayam di Pasar Mencos Setiabudi, Jakarta Selatan, Murni (38), membanderol ayam yang dijual di kisaran Rp 45 ribu-Rp 48 ribu per kg. "Naik turun, turun cuma dua hari, sehabis itu naik lagi. Baru tiga harian lalu, sekarang harga ayam jadi Rp 48 ribu," tutur Murni kepada satunkri2016.blogspot.com, Senin (30/7/2018).

Masih di Pasar Mencos, pedagang lain, Dimas (28), turut menjual harga ayam di atas harga normal. Meski begitu, ia cukup senang karena harga ayam tersebut sudah terbilang turun dibanding Lebaran lalu.

"Kalau saya jualnya Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu per kg. Meski masih mahal, tapi ini lumayan sudah agak turun. Dibanding Lebaran, mah jauh," kata dia.

Kenaikan tak hanya pada daging ayam, harga telur ikut terkerek. Yuli (27), pedagang di Pasar Mencos kini menjual telur Rp 25 ribu per kg. Harga ini dinilai masih tinggi meski sudah turun dibandingkan pekan sebelumnya. Agen lain, Nur (30), mematok harga telor Rp 26 ribu per kg.

"Memang sempat Rp 30 ribu kan pas Lebaran, sekarang sudah turun. Tapi ini juga sebenarnya masih terbilang tinggi. Normalnya kan Rp 22 ribu per kg," kata Yuli.

Lonjakan harga ini sontak menuai respons. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemerintah telah gagal mengendalikan harga telur dan ayam yang kini terus melambung di atas harga normal.

Sekretaris YLKI Agus Suyatno mengaku khawatir dengan harga telur dan ayam yang terlampau tinggi. Sebab keduanya merupakan sumber gizi utama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.

"Kenaikan harga ini jadi kegagalan pemerintah dalam mengontrol ketersediaan pangan. Masyarakat khawatir, sebab telur dan daging ayam selama ini jadi sumber gizi masyarakat menengah ke bawah," ungkap dia saat berbincang dengan satunkri2016.blogspot.com.

YLKI menyarankan pemerintah melacak keterjangkauan kedua komoditas itu di tengah masyarakat. Kasus ini juga harus segera dijadikan sebagai bahan evaluasi pemerintah. Jika hal ini terus dibiarkan, ia mengaku takut dampaknya akan melebar ke berbagai produk olahan lain.

"Telur dan ayam ini kan tidak hanya untuk konsumsi, tapi juga jadi bahan dasar produk olahan lain. Kenaikan harga ini otomatis bakal mempengaruhi produk-produk dan kegiatan usaha lain seperti pembuatan kue," urai dia.

Selain itu, dia pun menyebutkan, lonjakan harga telur dan ayam juga turut memberi kontribusi terhadap angka inflasi negara terakhir yang sebesar 0,25 persen. Angka itu sudah di luar ambang batas normal lantaran peninggian harga terjadi di luar event-event tertentu seperti hari raya.

Panggil Mentan

Komisi IV DPR RI berencana memanggil Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman guna meminta penjelasan terkait gejolak harga telur.

Anggota Komisi IV DPR Zainut Tauhid Saadi mengatakan, selama ini Kementerian Pertanian (Kementan) kerap menyuguhkan data yang tak konkrit dengan kondisi riil di lapangan. Salah satunya terkait telur dan daging ayam yang harganya kini melambung di pasar.

"Kementan sering mengatakan barang-barangnya ada dan cukup, namun faktanya harga di masyarakat tinggi. Ini kan berarti ada masalah," ujar dia.

DPR membutuhkan penjelasan yang konkret dari Kementan terkait persoalan ini. Namun yang terpenting dilakukan Kementan saat ini adalah segera mungkin mencari solusi mengatasi masalah ini.

"Jika mereka (Kementan) tidak siap, impor menjadi pilihan terakhir. Akan tetapi, jika memang nantinya harus impor, imbasnya pasti akan merugikan para peternak. Kementan harus bertanggung jawab, memberikan data yang sebenarnya untuk kepastian apakah barang (telur dan daging ayam) itu ada atau tidak," jelas dia.

Zainut juga mengingatkan Satuan Tugas (Satgas) Pangan harus bekerja efektif memastikan realitas kondisi di lapangan dan cepat mengambil tindakan jika diperlukan.

"Hasil dari temuan yang dilakukan Satgas itu juga sejatinya harus dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat juga tahu di mana letak sumbatannya," ungkap dia.

Penyebab Lonjakan Harga



Biang keladi lonjakan harga ayam dan telur pun terus dicari. Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menilai, kenaikan harga telur di pasar tradisional akibat rantai pasokan yang terlalu panjang.

Panjangnya rantai pasokan membuat perbedaan (disparitas) harga telur dari tingkat peternak ke pedagang pasar sangat jauh, hingga mencapai 60 persen.

Dia pun meminta pengusaha dan distributor yang terlibat dalam rantai pasok telur untuk tidak mengambil keuntungan yang berlebihan.

"Disparitas harga telur ayam 60 persen. Pengusaha jangan ambil untung banyak-banyak," ujar dia.

Sebab itu, pemerintah terus berupaya memperpendek rantai pasok agar disparitas harga dari produsen ke pedagang bisa ditekan.

Ia menampik alasan kenaikan harga telur ini karena lemahnya produksi. Ini karena mustahil produksi melemah jika keduanya masih bisa diperdagangkan ke luar negeri.

"Gimana produksi kurang kalau kita sudah ekspor. Ini soal rantai pasoknya. Kami sudah sepakat kemarin harga telor Rp 18 ribu (per kg). Di ujung itu Rp 30 ribu (per kg). Artinya, ada kenaikan 60 persen, harusnya 20 persen saja," papar dia.

Sementara menurut Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Heri Dermawan, gangguan pasokan usai libur panjang Lebaran menjadi faktor utama tingginya harga ayam.

"Lebaran pada 15 Juni. H-7 hingga H+7 pabrik bibit ayam tidak buka. Sebagian ada yang buka dan itu bantu 50 persen pasokan. Baru pada 22 Juni bisa ada lagi ayam. Nanti 29 Juli bisa normal (produksi-red) untuk ayam," ujar Heri kepada satunkri2016.blogspot.com.

Ia menambahkan, produksi ayam turun juga jadi pemicu melonjaknya harga ayam. Produksi ayam turun lantaran bibit ayam kurang bagus dan juga kualitas pakan ayam.

"Jika dulu memelihara 1.000 ayam bisa panen hingga 950 ayam. Sekarang hanya 800. Ini karena bibit jelek dan kualitas pakan turun sehingga produksi ayam berkurang,” kata dia.

Kenaikan Harga Pakan

Heri menuturkan, kualitas pakan turun kemungkinan karena bahan baku masih impor membuat harga lebih mahal. Bahan baku mahal membuat pelaku usaha memutar otak mengatasi biaya produksi yang mahal.

Ini seiring penguatan Dolar Amerika Serikat. Kini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di kisaran 14.000.

Heri mencontohkan, harga pakan ayam kini sekitar 6.800-7.400. Kemudian harga day old chick (doc) dari harga Rp 5.000 menjadi Rp 7.500.

"Harga pakan di luar masih tinggi. Dolar AS juga naik. Sedangkan pabrik pakan tidak bisa semena-mena naikkan harga jual sehingga putar otak dengan mengurangi kualitas. Peternak pun tak bisa ambil untung besar. Misalkan biaya produksi 22 ribu belum tentu kami jual 24 ribu. Harga jual ayam ditentukan mekanisme pasar,” ujar Heri.

Sekjen Gopan Sugeng Wahyudi menambahkan, tingginya harga ayam lantaran animo peternak berkurang karena biaya produksi mahal. "Biaya sarana produksi, pakan dan DOC meningkat ditambah penurunan produksi sehingga berpengaruh terhadap harga,” ujar dia.

Sugeng menilai, larangan pemakaian pakan ternak antibiotic growth promoters (AGP) mulai 1 Januari 2018 juga pengaruhi produksi. Ini lantaran terjadi kemunduran usia karena umur ayam 30 hari dengan berat 1,5-1-6 kg. “Tanpa AGP jadi mundur dua hari menjadi 32 hari untuk dapatkan bobot 1,5-1,6 kg. Jadi produksi agak turun,” kata Sugeng.

Siklus Tahunan

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai, kenaikan harga yang terjadi pada ayam dan telur merupakan siklus tahunan. Sebab itu, lonjakan harga ini seharusnya tidak perlu menjadi kekhawatiran.

Dia mengungkapkan, dalam 5 tahun terakhir, pada Januari harga ayam dan telur selalu naik, kemudian akan turun pada Maret-April. Harga akan kembali naik pada Juni-Juli seperti saat ini dan kemudian turun mulai Agustus.

‎"Kalau harga dagingnya (ayam) memang tinggi di Januari. Daging dan telur hampir sama grafiknya. Kemudian akan turun di Maret, di April terendah. Mei naik lagi sampai Juni-Juli. Agustus nanti turun sampai di September paling rendah. Setelah itu, November-Desember itu naik lagi," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (30/7/2018).

Andreas menyatakan, pada tahun ini memang ada sejumlah faktor yang membuat lonjakan harga terkesan lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, seperti pelemahan rupiah, harga pakan dan kebijakan larangan penggunaan Antibiotic Growth Promoters (AGP). Namun hal tersebut dinilai hanya berkontribusi kecil terhadap kenaikan harga.

"Ada yang bilang karena pengaruh pelemahan rupiah, lalu ada kebijakan pemerintah. Tapi ini hanya karena fluktuasi tahunan. Analis lain bilang karena antibiotik, tapi itu pengaruhnya kecil. Rupiah juga pengaruhnya kecil," ungkap dia.

Menurut Andreas, yang paling berpengaruh terhadap harga sebenarnya adalah pola tenak di dalam negeri. Dan pola ini terus berulang dari tahun ke tahun sehingga fluktuasi harga ayam dan telur pasti akan terjadi.

"Karena pola budidaya. Seperti padi, Mei pasti harga beras naik karena paceklik. Budidaya ayam juga sama. Kita impor GPS (grand parent stock) pada waktu tertentu, ketika DOC (day old chicken) populasinya turun, pasti harga naik. Apalagi kita Lebaran, banyak di layer yang ayam sudah tua dipotongin, sehingga produksi telurnya juga turun jadi harga naik. Itu sudah terjadi tahunan," jelas dia.

Oleh sebab itu, lanjut Andreas, masyarakat dan pemerintah tidak perlu panik. Kenaikan harga yang terjadi belakangan ini juga dinilai masih dalam level yang wajar.

"Tidak perlu khawatir, pemerintah panik intervensi berlebihan, harusnya tidak perlu panik. Kalau daging ayam puncaknya di Januari Rp 34 ribu per kg. Telur puncak harga di Januari di atas Rp 25 ribu, setelah itu turun. Juli puncaknya Rp 24 ribuan. Nanti Agustus-Septemer turun. Kita bicara rata-rata nasional, jangan hanya melihat harga di Jakarta saja," tandas dia.

Tidak ada komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.
Electricity Lightning