Tiga Taman Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Malang
Berita Hari Ini - Malang - Belasan taman kota modern dan cantik ada di berbagai sudut Kota Malang, Jawa Timur. Di antara taman–taman itu, ada tiga yang masuk kategori heritage, bernilai sejarah tinggi, dibangun oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda saat berkuasa di Malang.
Pemerintah Belanda membuat tiga taman itu saat menata dan mengembangkan Kota Malang. Tiga taman warisan sejarah masa kolonial itu adalah Alun–Alun Malang, Alun–Alun Tugu, serta Taman Cerme.
"Tiga taman itu berstatus heritage, dibangun pemerintah kolonial Belanda saat menata Malang," kata Sekretaris Tim Cagar Budaya Kota Malang, Agung Buana, Jumat, 16 Agustus 2018.
Pemerintah Kota Malang telah memasukkan ketiga taman itu dalam Sistem Registrasi Nasional. Supaya warisan sejarah itu tak berubah fungsi, tetap menjadi taman kota. Sebenarnya, setelah Belanda nenetapkan gementee atau Kotamadya Malang, ada 11 taman kota yang didirikan.
Taman–taman itu dibuat selama Belanda berkuasa di Kota Malang pada kurun 1914–1942, bagian dari bouwplan atau penataan dan perluasan Kotamadya Malang, tapi kini hanya tiga taman itu yang masih tersisa.
"Belanda saat itu menata Malang dengan orientasi sebagai kota taman yang nyaman untuk ditinggali," ujar Agung.
Alun–Alun Malang, Alun–Alun Tugu, serta Taman Cerme, tiga taman kota warisan masa lalu. Telah berubah dari semula tanah terbuka dengan pepohonan di masa kolonial, kini semakin dilengkapi berbagai fasilitas umum dan modern. Berikut sejarah dibangunnya taman-taman itu di Kota Malang hingga perkembangannya.
Alun–Alun Malang
Ini adalah ruang terbuka hijau tertua di Kota Malang. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun Alun-Alun Malang pada tahun 1882. Bentuk awal menyerupai tanah lapangan terbuka dengan dikelilingi pohon beringin. Di bagian tengahnya, terdapat dua pohon beringin.
Beberapa bangunan penting sudah lebih dulu berdiri di sekitarnya. Di sisi selatan ada kantor Asisten Residen Malang atau kantor wakil Belanda. Ada pula kantor Bupati Malang di sisi timur. Masjid, gereja protestan, dan gereja katolik ada di sisi barat.
Di dekat alun – alun terdapat gedung Societiet Concordia, sebuah klub ekslusif bagi warga Eropa. Pada awal 1900-an, warga Malang biasa menyebut ruang terbuka untuk mereka berkumpul ini sebagai Alun – alun Kotak.
Sebab beberapa tahun kemudian, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan gemeente atau Kotamadya Malang, dibangun pula sebuah alun–alun yang disebut Alun-Alun Bundar. Di era orde baru tepatnya pada 1982, Pemerintah Kota Malang merenovasi total Alun-Alun Malang.
Lokasi ini dipasang bangku beton, lampu taman, sampai kolam air mancur. Pohon beringin yang ada di tengah ditebang, menjadikannya sebagai taman kota. Kondisinya semakin modern setelah direvitalisasi pada 2014. Kini alun-alun ini dilengkapi berbagai fasilitas umum seperti sarana bermain, titik swafoto, dan sebagainya.
Taman Tugu Malang
Semula tempat ini hanya berupa tanah lapang terbuka berbentuk bulat atau bundar. Diberi nama Jan Pieterszoon Coenplein atau lapangan J.P Coen oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebagai penghormatan terhadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jaan Pieterzoen Coen.
Belanda memilih kawasan ini sebagai pusat Kotamadya Malang yang baru ditetapkan pada 1914. Balai Kota Malang, hotel, sekolah dan gedung lainnya didirikan di kawasan ini. Pengganti Alun-Alun Malang yang dianggap menggambarkan wajah pemerintahan lama.
Saat bouwplan atau perkembangan tata Kota Malang tahap kedua, Belanda membangun kolam air mancur di tengah alun–alun pada tahun 1931. Warga Malang kemudian lazim menyebutnya Alun-Alun Bunder. Dalam bahasa Jawa, bunder berarti bulat atau bundar.
Tempat ini terus dibenahi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1946, di tengah kolam air didirikan Tugu Proklamasi Kemerdekaan. Sebagai penanda, pusat pemerintahan Belanda dikuasai Republik Indonesia.
Belanda sempat menghancurkan Alun–Alun Tugu saat Agresi Militer I 1947. Setelah Belanda hengkang sepenuhnya dari Indonesia, pembangunan Tugu Malang dilanjutkan pada tahun 1950. Bunga teratai merah dan putih dipilih di dalam kolam, lambang bendera Indonesia.
Pengerjaannya selesai dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 20 Mei 1953. Sejak itu pula Alun-Alun Bundar lebih sering disebut sebagai Alun-Alun Tugu. Kini, kawasan ini menjadi sebuah taman cantik. Pemerintah setempat menjadikannya salah satu landmark di Kota Malang.
Taman Cerme
Tjerme Plein, begitu Pemerintah Kolonial Belanda menamainya. Taman ini dibangun pada masa bouwplan atau perluasan pembangunan Kota Malang tahap kelima sekitar tahun 1924-1925. Penyegar kawasan bergenbuurt, sebuah permukiman elit bangsa Eropa di Kota Malang.
Tjerme Plein atau Taman Cerme ini juga berfungsi sebagai penanda titik peralihan jalur transportasi antar kawasan. Pada tahun 1935 di depan taman dibangun gedung Maconnieke Lodge, tempat perkumpulan dengan keanggotaan tertutup atau Free Masonry.
Gedung itu kemudian digunakan kantor Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1964. Kini, gedung digunakan sebagai hotel. Perawatan Taman Cermen pun turut dikelola oleh manajemen hotel tersebut.
Taman Cerme yang berada di persimpangan Jalan Cerme kini semakin cantik dengan tanaman yang desain berbentuk labirin. Tapi siapapun tak diperkenankan menyusuri labirin itu. Di tengah area taman terdapat monumen gramaphone berbahan tembaga.
Gramaphone itu sendiri bukan sekedar pelengkap taman. Sebab, musik genre jazz sampai pop lawas mengalun lirih. Musik itu diputar tiap pagi sampai sore hari. Bunga–bunga cantik ada di sekeliling minumen alat musik klasik itu, menambah syahdu suasana taman ini.
Tidak ada komentar:
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.