Inggris Tolak Kepulangan Warganya yang Jadi Antek ISIS
Berita Hari ini - London - Inggris dikabarkan tak ingin menerima warganya yang pernah menjadi antek ISIS. Meski sudah ada seruan dari AS, agar semua negara mengurusi masing-masing warga mereka yang menjadi militan asing.
Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson mengatakan, negaranya tidak ingin menerima kepulangan dua warga Inggris anggota ISIS yang tertangkap di Suriah.
Gavin Williamson menuturkan di Brussels pada Rabu (14/2/2018), seperti dikutip dari VOA News, kedua warganya yang dijuluki bagian dari kelompok 'Beatles berburka' tersebut telah mengingkari Inggris dan nilai-nilai yang dijunjung negara itu.
Pasukan Demokrasi Suriah (SDF) yang didukung AS pada saat ini sedang menahan ribuan orang yang diduga anggota ISIS. Beberapa ratus di antara merupakan warga negara asing.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengatakan pada Selasa 13 Februari, negara-negara dari mana anggota ISIS itu berasal harus memikul tanggungjawab mengurusnya masing-masing.
Williamson sendiri mengatakan, ia dan Mattis melangsungkan pembicaraan pada Rabu pagi, namun menolak untuk mengungkapkan solusi-solusi apa yang mungkin telah mereka bahas.
Bangkit Pasca-ISIS
Masalah lain setelah ISIS diusir adalah mengembalikan wilayah yang pernah diduduki militan tersebut agar seperti sedia kala.
Menteri Perencanaan Irak, Salman Al-Jameeli mengungkap bahwa negaranya membutuhkan US$ 88,2 miliar atau sekitar Rp 1.203 triliun untuk membangun kembali sejumlah wilayah yang luluh lantak akibat perang melawan ISIS.
"US$ 22,9 miliar dibutuhkan Irak dalam jangka pendek dan US$ 65,4 miliar untuk jangka menengah," ujar Salman dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Selasa, 13 Februari 2018, dalam konferensi mengenai donor Irak di Kuwait.
Dikutip dari CNN, dana rekonstruksi akan dialokasikan ke wilayah yang sempat diduduki ISIS, termasuk Mosul.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson yang juga bergabung dalam konferensi itu, menyerukan negara-negara koalisi yang berperang terhadap ISIS untuk membangun kembali Irak.
"Jika masyarakat di Irak dan Suriah tak dapat kembali menjalani kehidupan normal, kita mengambil risiko kemungkinan ISIS untuk menguasai wilayah yang lebih luas," ujar Tillerson.
Ia pun mengumumkan tambahan dana sebesar US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,72 triliun.
Menurut Salman, tujuh wilayah di utara dan timur Irak mengalami kerugian US$ 46 miliar. Selain itu, Irak juga membutuhkan dana untuk keamanan sebesar US$ 14 miliar dan sektor perbankan yang kehilangan US$ 10 miliar asetnya.
Tidak ada komentar:
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.